Tuesday, August 20, 2013

HARUS KAH MUSLIM SESAMA MUSLIM BERPERANG



Orang-orang yang beriman tidak akan mengambil kaum Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. [Al Maa-idah 51]
Hanya orang munafik yang dekat dengan kaum Yahudi dan Nasrani yang saat ini tengah memusuhi Islam dan membantai ummat Islam:
“Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: “Kami takut akan mendapat bencana.” Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.” [Al Maa-idah 52]

Tidak pantas bagi seorang Muslim untuk mudah menganggap sesat atau mengkafirkan sesama Muslim yang masih sholat dan mengucapkan 2 kalimat syahadah. Jika begitu, maka mereka itu lemah imannya atau mungkin justru tidak punya iman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu: “Kamu bukan seorang mukmin” (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [An Nisaa' 94] 
Tiga perkara berasal dari iman: (1) Tidak mengkafirkan orang yang mengucapkan “Laailaaha illallah” karena suatu dosa yang dilakukannya atau mengeluarkannya dari Islam karena sesuatu 
perbuatan; (2) Jihad akan terus berlangsung semenjak Allah mengutusku sampai pada saat yang terakhir dari umat ini memerangi Dajjal tidak dapat dirubah oleh kezaliman seorang zalim atau keadilan seorang yang adil; (3) Beriman kepada takdir-takdir. (HR. Abu Dawud)
Jangan mengkafirkan orang yang shalat karena perbuatan dosanya meskipun (pada kenyataannya) mereka melakukan dosa besar. Shalatlah di belakang tiap imam dan berjihadlah bersama tiap penguasa. (HR. Ath-Thabrani)


Ulama Sunni dan Presiden Mesir Mursi Menyerukan Jihad Melawan Assad

 

Presiden Mesir Mohamad Mursi, memutuskan hubungan diplomatik dengan Suriah, dan menutup perwakilan Kedutaan Suriah di Kairo. Departemen Luar Negeri Mesir juga memerintahkan Kuasa Usaha Suriah, yang mewakili kepentingan pemerintah Suriah, segera meninggalkan Cairo, Jum'at, 14/6/2013.
Dalam pidatonya yang disiarkan telivisi nasional, Mursi menuduh bahwa Bashar al-Assad telah melakukan kejahatan, dan membantai rakyatnya tanpa belas kasihan. Bashar al-Assad telah melakukan kejahatan yang sangat nyata, tegasnya.
Dibagian lain, para tokoh Ikhwanul Muslimin menyerukan kepada kaum Muslimin, dan aktivis Ikhwan di Mesir, dan negara-negara Arab, agar segera pergi berjihad menyelamatkan kaum Muslimin di Suriah yang sekarang terancam oleh kekajaman rezim Syiah Alawiyyin yang dipimpin Bashar al-Assad.
Sebelumnya, Presiden Mursi yang menghadiri pertemuan Non-Blok di Teheran, dan bertemu dengan Presiden Iran, Ahmadinejad, bulan April lalu, tanpa ragu telah menyerukan kepada Presiden Bashar al-Assad mundur kekuasaannya.
Sikap pemerintahan Mursi dan para pemimpin Ikhwan mendapat sambutan dari Dr. Safwat Hijazi, pemimpin ulama Sunni di Mesir mengumumkan bahwa pihaknya akan membentuk brigade tempur dari warga Mesir untuk berperang di Suriah melawan rezim Bashar al-Assad.
Hal ini disampaikan saat pidatonya pada Muktamar “peran Ulama Umat terhadap Tragedi Suriah”, yang diselenggarakan Dewan Koordinasi Islam, pada hari Kamis, “Asosiasi telah mengirim senjata ke Suriah untuk mendukung oposisi selama hampir satu tahun ini.”
Hijazi menambahkan bahwa Asosiasi  Ulama Sunni akan menjadi Asosiasi Ulama yang pertama yang mengirim Brigade Jihad ke tanah Syam (Suriah), tanpa memberikan rincian lebih lanjut mengenai Brigade ini, seperti yang dikutip oleh kantor berita Anatolia.
Hijazi mengatakan,”kami tak kalah dibandingkan Rafidhoh (Syiah Imamiyah) dimana ketuanya menuju Suriah, hal itu mengacu pada Hasan Nasrallah, pemimpin Hizbullah Libanon, dan mereka masuk ke Suriah untuk membunuh kaum Sunni.
Hijazi juga menyatakan bahwa Asosiasi Ulama Sunni di Mesir  telah mendukung revolusi Suriah sejak lebih setahun yang lalu dengan mengirim senjata, Ia mengatakan,”saya katakan terus terang tentang hal ini dengan harapan semua negara ikut mendukung Revolusi di Suriah dengan Senjata pula.”
Para Ulama yang berkumpul di Kairo itu menyatukan sikap mereka atas krisis Suriah dan mengeluarkan pernyataan yang mengecam rezim “sektarian” di Suriah.
“Kita harus berkomitmen untuk berjihad mendukung saudara-saudara kita di Suriah dengan mengirimkan mereka uang dan senjata, serta memasok semua bantuan untuk menyelamatkan rakyat Suriah dari kekejaman rezim sektarian,” kata para ulama dalam pernyataanya.
Sebelumnya, tokoh dan pemimpin Ulama se-Dunia Dr.Yusuf Qardhawi telah mengeluarkan fatwa dan menyerukan jihad melawan rezim Bashar al-Assad. Pernyataan Yusuf Qardawi ini telah mendapatkan sambutan luas dikalangan Muslimi di Dunia Arab, dan mereka bergegas ke medan jihad Suriah.
Nampaknya dengan kondisi yang terjadi di Suriah, di mana kekejaman yang sangat luar biasa telah terjadi, akibat rezim Bashar al-Assad, dan didukung oleh Hisbullah, Irak, dan Iran, dan menghancurkan serta meluluh-lantakkan kehidupan kaum Sunni Suriah yang mayoritas di negeri itu.
Langkah pemerintah Presiden Mohamad Mursi dan para ulama Mesir itu, sebagai langkah menyelamatkan Muslim Sunni di Suriah yang terus dizalimi dengan penuh kekejaman oleh Bashar al-Assad.
Sudah lebih 100.000 ribu Muslim yang tewas, dan ratusan ribu lainnya yang mengungsi, akibat kebiadaban Assad. Muslim se-dunia mesti bersatu-padu mengakhiri kekejaman Bashar al-Assad. Wallahu'alam.

al-Qaeda Eksekusi Ulama Sunni di Suriah
Sementara , kelompok Takfiri al-Qaeda menunjukkan kebiadabannya dengan membunuh seorang ulama Sunni. Terbaru dilaporkan kelompok takfiri itu mengeksekusi seorang ulama dan sufi terkemuka Suriah yang sebelumnya diculik di desa Latakia.

Sheikh Badr Eddin Ghazal sebelumnya diculik oleh teroris Negara Islam Irak dan Levant (ISIS) pada 5 Agustus 2013 di desa Baroude saat ia tinggal di salah satu kerabatnya.

Sebelum dieksekusi, ulama itu disiksa secara brutal oleh penculik yang memposting foto-foto dirinya tengah berlumuran darah.

Beredar rumor sang sufi tersebut masih menjadi tawanan dan hidup, tapi dua kelompok takfiri yang berafiliasi dengan ISIS menegaskan bahwa dia sudah tewas dibunuh.

Sebelum pembunuhan, pemerintah setempat berusaha melakukan negosiasi untuk membebaskannya dari para penculik, tapi upaya mereka tetap sia-sia.

Sebelum ini, Front al-Nusra anggota takfiri al-Qaeda juga membunuh Shekh Said Ramadhan al-Buthi, tokoh utama kelas dunia dari kalangan Sunni. Beliau tidak hanya dikenal sebagai seorang sufi, namun juga ahli syariat sekaligus ahli hakikat, dan argumentator Sunni terhadap serangan-serangan Wahabi Takfiri.

Salah satu dari kehebatan Syekh Buthi adalah kemampuannya berargumentasi terhadap serangan-serangan kelompok takfiriyah yang suka mengkafirkan kelompok Asyari (Sunni), juga suka mengkafirkan amalan-amalan fadhilah dan lain sebagainya.

Perang di Suriah kini berubah menjadi konflik sektarian dimana ribuan teroris dukungan dan binaan Arab Saudi, Qatar, Turki, AS dan Israel berubah lebih bengis terhadap para penduduk, ulama Sunni dan Syiah dari sebelumnya dalam melakukan pembantaian di Suriah.setelah kejadian ini di mana kah Ulama Sunni Mesir?? yang berkoar koar mereka harus tanggung jawab di hadapan tuhan terhadap senjata telah mereka kirim ke suriah. ini sama artinya Senjata yg di maksud membela sunni Justru membunuh sunni

BERGABUNG NYA MESIR DAN SURIAH MENJADI SATU NEGARA
Pada 53 tahun lalu, Mesir dan Suriah sempat bergabung menjadi satu negara. Situasi itu berlangsung saat Presiden Suriah, Shukri al-Kuwatli, dan Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasser, menandatangani pakta pendirian Republik Persatuan Arab (RPA).

Menurut stasiun berita BBC, Bergabungnya Suriah dengan Mesir menandai puncak keberhasilan diplomasi Nasser di dunia Arab. Nasser telah tampil sebagai tokoh terkemuka di kalangan bangsa Arab sejak berhasil memenangi perang Suez melawan Inggris dan Israel pada tahun 1956.

Sejak saat itu, sikap politik Nasser menjadi panutan banyak pemerintahan dan oposisi di negara-negara Arab. Banyak rakyat Arab yang mengidolakan Nasser dan mendesak pemerintahnya untuk bersatu dan maju bersama Mesir.

Sentimen pro-Nasser sangat kuat berkibar di kalangan rakyat Suriah. Alhasil, sejak berakhirnya perang Suez, beberapa tokoh politik Suriah, terutama dari Partai Baath yang berkuasa, mulai mendekati Nasser untuk menjajagi persatuan kedua negara.

Persatuan dengan Mesir diharapkan akan meningkatkan popularitas Partai Baath di kalangan rakyat sehingga akan mengurangi pengaruh partai komunis Suriah yang tengah naik daun.

Sementara kalangan bisnis Suriah berharap berdirinya RPA memberikan akses kepada mereka untuk menggarap pasar Mesir yang potensial. Sayangnya, alih-alih mendapatkan keuntungan politik dan ekonomi dari persatuan dengan Mesir, kalangan elit dan rakyat Suriah malah menjadi subordinasi di bawah dominasi Mesir.



7 JUTA RAKYAT MENUNTUT MURSI MUNDUR 
 Ribuan sukarelawan turun ke jalan-jalan, stasiun kereta, bahkan ke rumah sakit di seantero Mesir untuk membagikan lembaran formulir hitam-putih guna mengumpulkan tanda tangan warga mendukung petisi menurunkan Presiden Muhammad Mursi.

Kelompok menamakan diri "Tamarod" atau berarti "Pemberontak" dalam bahasa Arab menjadi pengumpul tanda tangan warga sebagai tandingan kampanye "Tajarod" atau "Netral" yang diserukan Mursi sebelumnya, seperti dilansir stasiun televisi Al Arabiya, Kamis (6/6).

Kelompok Tamarod mencerminkan ketidakpuasan warga selama kepemimpinan Mursi yang membuat perekonomian Mesir makin sulit, pembatasan bahan bakar meluas, dan berkurangnya rasa aman.

Gelombang unjuk rasa besar-besaran awal tahun ini yang digalang kelompok muda dan kelompok oposisi kini makin menyusut akibat sejumlah penangkapan oleh pihak keamanan.

Para pegiat kini berharap kampanye pengumpulan tanda tangan itu bisa menjadi sinyal yang menunjukkan kelompok anti-Mursi makin menguat. Kelompok itu juga berencana menggelar aksi demonstrasi besar-besaran 30 Juni mendatang, sebagai peringatan setahun Mursi berkuasa.

Seorang sopir truk yang sedang mengemudi serta merta menghentikan kendaraannya dan bergegas mendekati para sukarelawan di Ibu Kota Kairo untuk membubuhkan nama dan tanda tangannya di lembar petisi itu.

"Kami tak bisa mencari makanan," kata dia kemarin.


Tamarod mengklaim sejauh ini telah mengumpulkan tujuh juta tanda tangan dan menargetkan bisa mencapai 15 juta atau sekitar dua juta lebih banyak dari sura diperoleh Mursi pada pemilihan presiden lalu. Mursi tahun lalu meraup 52 persen suara dari 90 juta populasi Mesir pada pemilu presiden.
Demokrasi tidak bekerja untuk Mesir, saya takut," kata Hussein Ahmed, seorang bankir 30 tahun di Kairo, yang telah memprotes Mubarak dalam pemberontakan 2011. Hussein adalah salah satu warga Mesir yang kini berbalik mendukung militer karena pertumpahan darah yang dia anggap bagian dari skenario yang dibuat Ikhwanul Muslimin.

"Ya, Ikhwanul Muslimin memang terpilih secara demokratis, tetapi mereka tidak pernah peduli tentang hak-hak atau kebebasan orang lain kecuali kelompok mereka sendiri. Mengapa kita harus merasa kasihan pada mereka sekarang?" tambahnya berapi-api.

Setelah dua kamp protes pro-Mursi dihancurkan oleh polisi pada Rabu, Ikhwan meluncurkan "Hari Kemarahan" pada hari Jumat, dan bentrokan menyebabkan sedikitnya 173 tewas. Mereka mendesak pendukung mereka untuk turun ke jalan setiap hari di minggu depan.
Didirikan pada tahun 1928, Ikhwanul Muslimin memiliki basis-basis rakyat besar yang tersebar di beberapa provinsi besar di Mesir dan memenangkan pemilu di semua provinsi yang mereka diami. Dimana pemilu yang diikuti adalah pemilu yang dilakukan setelah penggulingan tahun 2011 dari otokratis Hosni Mubarak, tapi tuduhan bahwa mereka tidak kompeten dalam menjadi penguasa hanya memonopoli pemerintah telah menodai reputasi mereka.

Ratusan ribu warga Mesir turun ke jalan pada bulan Juni untuk mengecam Morsi dan tentara mengatakan dia dilengserkan dari jabatannya pada 3 Juli untuk menghindari perang saudara.

Sejak itu, media pemerintah telah berubah galak terhadap kelompok ikhwanul muslimin dan tampaknya ada sedikit simpati untuk setia pada persudaraan ikhwanul muslimin di Mesir.

MANA LEBIH BERHARGA NYAWA ATAU KEKUASAAN
Jika pendiri Ikhwnul Muslimin Hassan al Bana dan Sayid Qutbh masih hidup, mereka mungkin akan menangisi hasil perjuangan mereka akan berakhir tragis seperti saat ini. Justru ketika Mesir telah mulai berubah menjadi negara demokratis yang memberi kesempatan Ikhwanul Muslimin menjadi penguasa, ratusan (bankan mungkin ribuan jika klaim Ikhwanul Muslimin benar) pengikut Ikhwanul Muslimin harus tewas mengenaskan ditembaki aparat keamanan dan para pemimpinnya diuber-uber seperti penjahat.

Padahal sampai hari Rabu lalu (14/8) Ikhwanul Muslimin masih memiliki kesempatan untuk menghindari tragedi, dan dengan strategi yang tepat kembali merebut kekuasaan mereka yang ditumbangkan oleh kudeta militer tgl 3 Juli lalu.

Sebagian besar pengamat politik yang berfikir rasional menganggap tumbangnya kekuasaan Ikhwanul Muslimin oleh militer merupakan "kesalahan" para pemimpin Ikhwanul Muslimin, terutama Presiden Moersi, yang tidak memahami bahwa hakikat politik adalah seni bernegosiasi. Setelah berpuluh tahun hidup dalam penindasan dan tiba-tiba mendapatkan kekuasaan, para pemimpin IKhwanul Muslimin seakan menjadi lupa diri pada hakikat tersebut dan menganggap kekuasaan yang didapatkan adalah "amanah Tuhan" yang harus dipertahankan mati-matian. Mereka tidak peduli pada tindakan-tindakan mereka yang tidak menyenangkan kelompok-kelompok politik lain. Bahkan ketika puluhan juta rakyat Mesir pada tgl 30 Juni mengeluarkan petisi penolakan terhadap kekuasaan Ikhwanul Muslimin, mereka tetap ngotot bertahan dan tidak bersedia melakuan kompromi.

Puluhan juta suara penolakan tersebut secara "de facto"  merupakan tanda bahwa kekuasaan Ikhwanul Muslimin sudah berakhir. Tanpa disuruh pun, seorang pemimpin yang berjiwa demokrat yang memahami bahwa demokrasi adalah kehendak mayoritas rakyat, akan mengundurkan diri ketika sebagian besar rakyatnya menghendaki demikian.

Kemenangan Moersi dan Ikhwanul Muslimin sendiri dalam pemilu Mesir tahun 2011 bukanlah kemenangan signifikan. Dengan lebih dari 50% rakyat Mesir yang memilih golput, Moersi hanya menang tipis dari lawannya politiknya. Artinya, Moersi tidak didukung oleh mayoritas rakyat Mesir yang pada tgl 30 Juni lalu justru menunjukkan arpirasi penolakan terhadapnya. Maka ketika militer Mesir melakukan kudeta terhadap Moersi tindakan tersebut sangat bisa difahami demi menghindarkan Mesir dari kebuntuan kekuasaan dan perang saudara.

Sampai pada titik ini semestinya Moersi dan para pendukungnya melakukan introspeksi, menerima peta jalan tengah yang ditawarkan militer dan berpartisipasi dalam pemerintahan sementara hingga diselenggarakannya pemilu mendatang saat Ikhwanul Muslimin memiliki kesempatan untuk merebut kembali kekuasaannya yang hilang. Mesir pun tidak perlu mengalami kekacauan hingga pertumpahan darah yang tidak perlu.

Militer sebenarnya masih berbaik hati dengan memberi kesempatan Ikhwanul Muslimin untuk turut serta dalam pemerintahan sementara, namun justru kesempatan baik itu disia-siakan. Ikwanul Muslimin kembali melakukan kesalahan yang dibuat sebelumnya dengan menolak kompromi dan justru memilih konfrontasi, meski pemerintahan sementara dan berbagai pihak seperti para diplomat asing, kelompok Islamis non-Ikwanul Muslimin, hingga rektor Universitas Al Azhar telah berusaha keras membujuk Ikwanul Muslimin untuk menghentikan sikap konfrontasinya. Maka terjadilan tragedi itu.

"Hasilnya adalah bahwa kini Ikwanul Muslimin berada pada posisi lemah untuk melakukan negosiasi. Sebelum kemarin, mereka bisa bernegosiasi untuk menarik diri namun kini kesempatan itu sudah hilang. Kesalahan-kesalahan ini disebabkan oleh tindakan para pemimpin ekstremis mereka. ... Tidak seorang pun yang harus meninggal kemarin dan konfrontasi itu tidak perlu terjadi sama sekali," tulis Abdulrahman al-Rashed, editor berita televisi Al Arabiya di harian Asharq al-Awsat tgl 15 Agustus tentang insiden pertumpahan darah di Mesir baru-baru ini.

Meski secara idiologis saya (blogger) berseberangan dengan Abdulrahman yang sebagaimana media yang dipimpinnya sangat pro-Saudi/Amerika/Israel, namun editorial tersebut sangat saya setujui.

Ada satu penggambaran yang menarik tentang aksi pendukung Ikwanul Muslimin Mesir, yang saya dapat dari seorang komentator atas artikel online di media "Egypt Independent" tentang penolakan Ikhwanul Muslimin untuk bernegosiasi hingga mengakibatkan terjadinya pembantaian:

"Siapa yang menempatkan diri secara sengaja untuk ditabrak dan kemudian mengeluh setelah terluka? Siapa yang menyeberang jalan di depan kendaraan yang melaju kencang dan ugal-ugalan, daripada memilih berhenti sebentar hingga kendaraan lewat, dan setelah tertabrak menyalahkan pengemudinya. Ia memang pengemudi ugal-ugalan, namun mengapa mencelakakan diri untuk membuktikan bahwa ia adalah pengemudi yang buruk, dan kemudian mengeluh karena tertabrak?"

Namun keadaan sebenarnya kini jauh lebih membahayakan dari masa lalu ketika para aktifis Ikwanul Muslimin mengalami penindasan oleh aparat keamanan. Sebagian rakyat Mesir yang anti-Ikwanul Muslimin juga telah mengorganisir kelompok-kelompok yang secara sporadis melakukan aksi-aksi kekerasan di jalanan, milisi-milisi bentukan militer belum lagi unsur-unsur Al Qaida dan dan ditambah pasukan-pasukan teroris pembunuh yang dibentuk CIA dan Mossad mulai berkeliaran setelah diangkatnya Robert Ford, arsitek perang sipil Irak dan Syria menjadi dubes Amerika di Mesir. Mesir mulai terjerembab dalam perang sipil.

Maka dalam konteks "perjuangan" Ikhwanul Muslimin yang didirikan untuk membebaskan Palestina dari penjajahan Israel dan mengantarkan rakyat Mesir kepada masyarakat damai sejahtera, Ikwanul Muslimin telah mengalami kekalahan tiga kali berturut-turut hanya dalam waktu beberapa minggu terakhir ini ( Chd)

No comments:

Post a Comment