Monday, September 9, 2013

Benarkah Pemerintah Mengeluarkan Subsidi Untuk BBM ?

Harga BBM disubsidi  menjadi Rp 4.500,- maka pemerintah rugi besar karena semakin lama subsidinya menjadi semakin besar. Berdasarkan perhitungan yang berlaku dipasar, Harga BBM adalah sebagai berikut :
Anggap untuk mudahnya adalah 1 USD = Rp. 10.000,- dan harga minyak mentah Indonesia di pasar Internasional 1 Barel = 100 USD. Dan 1 barrel = 159 liter.
(1) Biaya untuk mengangkat minyak dari perut bumi (lifting) + biaya pengilangan (refining) + biaya transportasi rata-rata ke semua pompa bensin = USD 10 per barrel.
(2) Jadi agar minyak mentah dari perut bumi bisa dijual sebagai bensin premium per liternya dikeluarkan uang sebesar (USD 10 : 159) x Rp. 10.000 = Rp. 628,93 – kita bulatkan menjadi Rp. 630 per liter.
(3) Harga minyak mentah Indonesia USD 100 per barrel. Kalau dijadikan satu liter dalam rupiah, hitungannya adalah : (100 x 10.000) : 159 = Rp. 6.289,30, dibulatkan menjadi Rp. 6.300,-
(4) Maka jumlah harga per liter setelah ditambah biaya-biaya adalah : Rp. 630 + Rp. 6.300 = Rp.6.930
(5) Pemerintah menjual harga Premium = Rp. 4.500, jadi dalam hal ini pemerintah rugi Rp. 6.930-Rp.4.500 = Rp. 2.430 per liter.
Kerugian itulah yang harus ditutup oleh pemerintah dengan uang tunai dan dinamakan sebagai subsidi.
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa Harga Minyak Mentah ditetapkan sesuai dengan harga pasar Minyak Dunia ? Bukankah ini minyak mentah milik sendiri yang disedot dari Bumi Indonesia sendiri ?
Berdasarkan perhitungan diatas , bukankah seharusnya pemerintah masih untung, harga jual dikurangi harga pokok tunai hingga menjadi Rp. 4.500 – Rp. 630 = Rp. 3.870 per liter ?  Dan kelebihan ini luar biasa banyak sekali.
Tertera dengan sangat jelas  dalam  pasal 33 UUD 1945 pasal 2 dan 3 yang berbunyi sebagai berikut :
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya  untuk kemakmuran rakyat.

Pemerintah menyatakan: subsidi BBM salah sasaran dan hanya dinikmati oleh segelintir kaum kaya. Menurut pemerintah, sekitar 70% subsidi BBM justru dinikmati kaum kaya.
Bantahannya:
  1. Hasil kajian KEN menyatakan, subsidi BBM hanya dinikmati 12 persen masyarakat miskin (29 juta jiwa) dan 28 persen masyarakat rentan (70 juta jiwa). 60 persen subsidi BBM dinikmati kalangan mampu dan kaya (150 juta jiwa). Pertanyaannya: benarkah kalangan mampu dan kaya di Indonesia mencapai 150 juta jiwa? Apa ukuran KEN menyebut 150 juta jiwa Indonesia itu kaya dan mampu.
  2. Kajian dan penelitian ECONIT justru menemukan fakta berbeda. Menurut ECONIT, 65% BBM bersubsidi dinikmati oleh keluarga berpendapatan 4 USD (Dollar AS) ke bawah. Sementara sisanya dinikmati oleh keluarga berpendapatan 4 USD ke atas.
  3. Penelitian Fraksi PDI Perjuangan di DPR juga menemukan kesimpulan berbeda. Menurutnya, BBM bersubsidi dikonsumsi oleh sebanyak 64 persen kendaraan bermotor dan mobil sebanyak 36 persen. Kita tahu, motor bukan lagi barang mewah di Indonesia. Sudah begitu, banyak rakyat miskin menggantungkan hidup dari profesi sebagai tukang ojek.
  4. Selain itu, konsumen BBM bersubsidi bukan hanya sektor transportasi. Dalam Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2012 Tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Tertentu, antara lain, disebutkan: pengguna BBM bersubsidi juga meliputi nelayan dan pembudi daya ikan skala kecil, usaha pertanian kecil dengan luas maksimal 2 hektar, usaha mikro (UMKM), dan pelayanan umum seperti krematorium. Artinya, jika BBM dinaikkan, sektor usaha kecil ini akan ambruk.
Indonesia adalah negara yang kaya sumber energi. Kita punya cadangan minyak, gas, dan batubara yang melimpah. Lantas, kenapa negara ini seakan mengalami krisis energi?
  1. Produksi minyak mentah siap jual (lifting) nasional terus menurun. Sebelum SBY berkuasa pada tahun 2004, lifting minyak masih berkisar 1,4 juta barel perhari. Namun, pada akhir 2011 lalu, produksi minyak Indonesia hanya 905.000 barel perhari. Bahkan, pada tahun 2012 ini, produksi minyak cuma berkisar 890.000 barel perhari.
  2. Penyebab turunnya produksi minyak mentah Indonesia adalah produksi minyak Indonesia mengandalkan sumur-sumur tua dan keengganan pemerintah untuk melakukan investasi untuk eksplorasi minyak. Pemerintah beralasan, berinvestasi dalam eksplorasi minyak itu beresiko. Kata SKK Migas, Rudi Rubiandini, biaya eksplorasi minyak per sumur bisa mencapai Rp 1 triliun tetapi belum tentu dapat minyak alias dry hole. Pada kenyataannya, kendati beresiko, perusahaan asing justru berlomba-lomba melakukan investasi dalam eksplorasi minyak dan menikmati untung. Lagipula, potensi dry hole dalam eksplorasi bisa diminimalisir dengan pengembangan teknologi dan riset.
  3. Indonesia sebetulnya masih punya cadangan minyak. Menurut Kurtubi, cadangan minyak kita masih berkisar 50 miliar hingga 80 miliar barel. Namun, potensi cadangan terbukti (proved reserve) hanya sekitar 3,4 milyar barel. Seharusnya, kata Kurtubi, Indonesia sanggup memproduksi minyak 1,5 juta barrel per hari. Akan tetapi, karena tata kelola migas yang salah, maka kemampuan kita hanya 890.000 barel per hari.
  4. Produksi minyak Indonesia sebagian besar dikuasai oleh produksi asing. Data Kementerian ESDM tahun 2009 menyebutkan, pertamina hanya hanya memproduksi 13,8%. Sisanya dikuasai oleh swasta asing seperti Chevron (41%), Total E&P Indonesie (10%), Chonoco-Philips (3,6%) dan CNOOC (4,6%). Data ini tidak berbeda jauh dengan temuan Indonesian Re­sour­ce Studies (IRESS), bahwa Pertamina memproduksi hanya 15 persen dan 85 persen diproduksi oleh asing.
  5. Tata kelola migas saat ini, yang masih mengacu pada UU nomor 22 tahun 2001 tentang Migas, sangat merugikan negara. Akibat UU migas yang sangat liberal itu, sebagian besar kekayaan migas Indonesia jatuh ke tangan korporasi asing. Sudah begitu, hasil produksinya pun dijual dengan harga murah ke luar negeri seperti dalam kasus gas (kasus LNG Tangguh).
  6. Selain itu, akibat tata kelola migas yang tidak benar, Indonesia juga dibebani oleh biaya cost recovery yang terus meningkat tiap tahunnya. Bayangkan, pemerintah setiap tahun harus membayar sekitar Rp 120 triliun hanya untuk cost recovery.
  7. Seharusnya, ketika harga minyak dan gas dunia naik, seharusnya perusahaan atau kontraktor migas di Indonesia menikmati rejeki nomplok berupa “windfall profit”. Sayangnya, pemerintah Indonesia belum berani memberlakukan windfall profit tax kepada korporasi atau kontraktor asing tersebut.
Belakangan banyak pihak yang menuding, ada kepentingan asing di balik kenaikan harga BBM ini. Terutama untuk meliberalkan sektor hilir migas Indonesia.
  1.  Sejak tahun 2008, Organisasi Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) sudah “mengejar-ngejar” pemerintah Indonesia agar memastikan penghapusan subsidi BBM. Lalu, pada 1 November 2010, Sekjend OECD Angel Gurria menemui sejumlah Pejabat Tinggi Indonesia, termasuk Wapres Boediono dan Menkeu Agus Martowardoyo. Di situ, OECD berusaha menyakinkan pemerintah Indonesia agar segera menghapus subsidi BBM dan listrik hingga 2014.
  2. Dalam forum G-20 di Pittsburgh (2009) dan Gyeongju (2010), proposal penghapusan subdisi BBM makin gencar disuarakan. Di Pittsburgh, G20 memaksa negara anggotanya, termasuk Indonesia, segera menghapus subsidi BBM secara bertahap. Di Gyeongju, Korea Selatan, Pemerintah Indonesia menjanjikan akan melaksanakan penghapusan subdisi energi, khususnya BBM dan TDL, dimulai pada tahun 2011.
  3. Pada saat yang bersama, desakan serupa juga gencar dilakukan oleh lembaga seperti IMF, Bank Dunia, USAID dan ADB. Lembaga-lembaga tersebut memaksa pemerintah Indonesia segera menghapus subsidi energi paling lambat tahun 2014. Dengan demikian, terkait rencana penghapusan subsidi energi ini (BBM dan TDL), pemerintah Indonesia sudah dikejar jadwal.
  4. Kenaikan harga BBM ini merupakan desakan dari lembaga dan negara asing untuk mempercepat liberalisasi sektor hilir migas di Indonesia. Target dari penghapusan subsidi BBM adalah membuat harga jual BBM di Indonesia sesuai dengan harga pasar atau harga keekonomian. Menurut Menko Perekonomian Hatta Radjasa, harga keekonomian BBM di Indonesia seharusnya Rp 10 ribu. Nantinya, kalau harga jual BBM sudah mengacu ke harga pasar,  pemain asing (SPBU asing) bisa turut bermain dalam bisnis penjualan BBM di Indonesa.
  5. Sejak tahun 2005 lalu, tiga perusahaan asing sudah menyiapkan kesiapannya untuk membangun stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di berbagai wilayah di Indonesia. Ketiganya adalah Shell (milik Inggris dan Belanda), Petronas (Malaysia), dan Total (Prancis). Pada tahun 2006, Dirjen Migas ESDM sudah mencatat, setidaknya 25% perusahaan swasta (lokal dan asing) sudah mendapat ijin prinsip ataupun ijin usaha untuk terlibat bisnis BBM.
  6. Dua pemain asing utama, Shell dan Petronas, berencana membangun ratusan SPBU untuk menyambut potensi bisnis BBM itu: Shell berencana membangun 400 SPBU dan Petronas akan membangun 500 SPBU. Sejumlah perusahaan swasta lokal juga sudah merintis usaha yang sama.
  7. Pada kenyataannya, menurut Institute For Global Justice (IGJ), sebanyak 176 negara di dunia masih memberikan subsidi energi. Diantara negara itu: Amerika Serikat sebesar $502 billion, China sebesar $279 billion, dan Russia sebesar $116 billion. Subsidi BBM di negara maju ini terkait erat dengan kebijakan industri dan perdagangan mereka.
  8. Negara-negara kaya energi lainnya berhasil membuat harga jual BBM mereka sangat rendah: Venezuela (0,08 USD/Rp.774), Mesir (0,09 USD/Rp.871), Saudi Arabia (0,10 USD/Rp 968), Qatar (0,12 USD/Rp 1,161), Bahrain (0,15 USD/Rp 1,452), Libya (0,15 USD/Rp 1,452), Turkmenistan (0,17 USD/Rp 1,645), Kuwait (0,17 USD/Rp 1,645), Aljazair (0,17 USD/Rp 1,645), dan Iran (0,21 USD/Rp 2,032).
Pemerintah mengklaim, kenaikan harga BBM akan menguntungkan rakyat. Sayangnya, pemerintah tidak bisa menjelaskan argumentasi itu lebih jauh. Pada kenyatannya, kenaikan harga BBM justru akan menyengsarakan rakyat.
  1.  Kenaikan harga BBM akan memicu kenaikan harga barang, termasuk kebutuhan pokok. Selanjut, kenaikan harga barang ini akan memicu kenaikan biaya hidup lainnya, seperti sewa kontrakan.
  2. Kenaikan harga BBM akan mendorong kenaikan tarif angkutan umum dan alat transportasi lainnya. Akibatnya, pengeluaran rakyat untuk urusan transportasi akan meningkat, seperti ongkos bepergian, transportasi berangkat ke tempat kerja, dan ongkos transportasi anak bersekolah.
  3. Kenaikan harga BBM juga memukul produktivitas nasional. Kalau daya beli rakyat menurun, hal itu berarti penurunan permintaan dalam pasar dalam negeri. Kondisi ini akan merugikan produksi dalam negeri, terutama usaha menengah dan kecil, yang sangat bergantung pada pasar internal.
  4. Kenaikan harga BBM akan membebani industri berupa kenaikan biaya produksi. Tentu saja, untuk mengimbanginya, pengusaha akan melakukan efisiensi. Pilihannya: mereka akan memangkas kesejahteraan buruh atau mengurangi jumlah pekerja. Dengan demikian, kenaikan harga BBM akan memicu penurunan kesejahteraan dan gelombang PHK.
  5. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), yang jumlahnya  mencapai 99,9% dari keseluruhan pelaku usaha di Indonesia, akan terkena dampak kenaikan harga BBM. Ketua Kadin Jabar Bidang UMKM dan kemitraan, Iwan Gunawan, memperkirakan pengeluaran UMKM untuk pembelian BBM akan naik 20%. Belum lagi pengaruh kenaikan harga BBM terhadap biaya bahan baku dan lain-lain. Padahal, sebelumnya UMKM sudah disusahkan oleh kenaikan biaya Tarif Dasar Listrik (TDL).
Pemerintah berdalih, dampak kenaikan harga BBM bisa ditekan dengan pemberian dana bantuan langsung kepada rakyat miskin. Benarkah?
  1. Kenaikan harga BBM akan memicu kenaikan harga barang dan biaya hidup rakyat. Artinya, daya beli rakyat akan merosot. Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) memperkirakan, kenaikan harga BBM akan menyebabkan daya beli buruh akan menurun hingga 30 persen.
  2.  Data menunjukkan tenaga kerja yang betul-betul dianggap bekerja penuh (minimal 35 jam/minggu) hanya sekitar 70%, sedangkan sisanya adalah setengah penganggur dan penganggur terbuka. Lebih dramatis lagi, mereka yang dianggap bekerja penuh ternyata 65% bekerja di sektor informal dan hanya 35% bekerja di sektor formal (BPS, 2011). Artinya, mereka ini sangat rentan terkena dampak kenaikan harga BBM dan merosot tingkat kesejahteraannya.
  3. Dana kompensasi BBM—berapa pun besarannya–tidak akan bisa mengatasi kemiskinan. Alasannya sederhana: kenaikan harga BBM berdampak luas pada perekonomian nasional, yang memukul ekonomi rakyat dari berbagai segi (efisiensi industri, kenaikan harga barang, dan kenaikan biaya hidup). Menurut pengamat ekonomi Yanuar Rizky, dampak kenaikan harga BBM itu menggerus daya beli 90% rakyat Indonesia. Sementara dana kompensasi BBM, yang dirancang dengan anggaran terbatas dan sasaran yang terbatas pula, hanya menjangkau sebagian kecil dari mereka yang terkena dampak kenaikan harga BBM.
  4. Kenyataan juga menunjukkan, bahwa pada awal 2006 (setahun setelah kenaikan harga BBM) jumlah orang miskin melonjak menjadi 39,05 juta (17,75%). Artinya, program BLT saat itu tidak berhasil menekan dampak kenaikan harga BBM.
  5. BLT tidak membuat rakyat produktif dan mandiri. Artinya, sekalipun rakyat diberi BLT, tidak ada peluang mereka untuk keluar dari kemiskinan. Sebab, mereka tetap tidak punya pekerjaan dan tidak punya akses terhadap alat produksi.
  6. Sasaran penerima BLT ini sangat sedikit dan tidak menjangkau seluruh rakyat yang terkena dampak kenaikan harga BBM. Pada tahun 2005, ketika SBY menaikkan harga BBM dua kali, jumlah penerima BLT hanya 19,1 juta keluarga. Untuk program BLSM tahun 2013 ini, jumlah sasaran keluarga malah menurun, yakni hanya 15,5 juta keluarga.
  7. Sebagian besar dana bantuan atau kompensasi BBM ini dapat melalui pinjaman luar negeri dengan bunga tinggi. Dengan demikian, program ini tidak lebih sebagai strategi kapital untuk mendorong permintaan dengan utang-konsumsi.
  8. Lebih jauh lagi, program BLT hanya melahirkan klientalisme. Masalahnya, seperti dalam kasus pemilu 2009, BLT dijadikan alat kampanye politik dan dibagikan menjelang hari pemilihan.
Menurut Menteri ESDM, kenaikan harga BBM adalah keinginan masyarakat. Menteri dari Partai Demokrat ini mengklaim menerima masukan dari banyak kelompok masyarakat.
Faktanya:
  1. Menteri ESDM Jero Wacik tida bisa menunjukkan kelompok masyarakat yang mana yang menginginkan kenaikan harga BBM. Selain itu, Jero Wacik juga tidak bisa membuktikan bahwa aspirasi kelompok masyarakat dimaksud mewakili kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
  2. Sejak isu kenaikan harga BBM muncul, hampir setiap hari terjadi aksi demonstrasi menolak kenaikan harga BBM di berbagai tempat di seluruh Indonesia. Sebaliknya, kita belum pernah menyaksikan adanya aksi demonstrasi mendukung kenaikan harga BBM.
  3. Mekanisme terbaik untuk menentukan apakah rakyat setuju atau tidak dengan kenaikan harga BBM adalah referendum. Kita menantang SBY dan kroninya untuk menggelar referendum guna membuktikan apakah rakyat setuju atau menolak kenaikan harga BBM.

Sumber Artikel:  
http://politik.kompasiana.com/2013/06/25/benarkah-subsidi-bbm-salah-sasaran-572046.html

No comments:

Post a Comment