Monday, September 9, 2013

PEMERINTAH ATAU KAH " kWIK KIAN GIE YANG BODOH

 
 
 
 
Per 1 April 2012, pemerintah menaikkan harga BBM premium, yang semula Rp
4.500 menjadi Rp 6.000. Demo memprotes
kenaikan
harga BBM merebak di seluruh
kota di Indonesia.
Perlukah harga BBM dinaikkan? Pengamat
ekonomi Kwik Kian Gie, memaparkan tanpa adanya
kenaikan harga BBM, pemerintah sebenarnya telah
mengantongi surplus Rp 96,78 triliun. Perhitungan
ini berdasarkan Nota Keuangan 2012.
“Sekarang angka ini ternyata kelebihan uang,
yang bilang membuat APBN jebol itu apa? Apa itu
tidak bohong kepada rakyat?” gugat Kwik.
Berikut petikan wawancara Monique Shintami
dari majalah detik dengan Kwik Kian Gie:
**Bagaimana pendapat Anda tentang kenaikan harga BBM?**
Sekarang yang Anda dengar semuanya kayak begini, kalau harga minyak mentah di New York meningkat,
sedangkan harga bensin yang ada di dalam
negeri untuk bangsa Indonesia tidak ikut meningkat,
maka pemerintah rugi.
Kerugian itu namanya subsidi, dan subsidi itu
sama dengan uang tunai yang dikeluarkan. Uang itu
tidak ada, kalau uang itu tidak ada tetapi harus dikeluarkan,
maka pemerintah menekan APBN, supaya
APBN tidak jebol harga BBM mesti dinaikkan.
Di sini terjadi salah paham, tetapi tidak sekadar
hitung-hitungan. Saya tentu akan memulai hitunghitungan
terlebih dahulu, tetapi sebetulnya masalah
ini memiliki urusan yang sangat mendalam.
Masalah ini mempunyai urusan konstitusi, urusan
ilmu pengetahuan, urusan ideologi, yang sebetulnya akarnya dalam. kalau itu tidak dipahami, maka
memahaminya sulit. Itulah sebabnya saya dianggap
omong kosong selama 18 tahun. Nah sekarang, karena
entah kebetulan bisa keluar, bagaimana caranya
menjelaskan yang saya ketahui betul dan mereka
tidak mengakui.
**Bisa Anda jelaskan mengenai kontroversi subsidi BBM?**
Kita akan bicara uang yang masuk dan uang yang keluar dari BBM. Yang mencatat uang masuk kepada
pemerintah dan uang pemerintah yang dikeluarkan
kan Kementerian Keuangan.
Semuanya
dituangkan di dalam
yang namanya Nota
Keuangan
.
Sekarang di sini ada
tabel III.3 ada angka Rp
60,91 triliun itu disebut
Pajak Penghasilan
Migas, jadi pemerintah
menerima pajak penghasilan
migas sebesar
Rp 60,915 triliun. Di situ ada yang namanya tabel III.7,
ada angka Rp 159 triliun, itu namanya penerimaan
Sumber Daya Migas. Jadi pemerintah kemasukan 2
macam uang dari migas, yang satu namanya pajak,
yang satu namanya penerimaan Sumber Daya Alam
Migas.
Kemudian ada yang namanya tabel IV.3, di situ
angkanya Rp 123 koma sekian triliun, itu merupakan
pengeluaran untuk subsidi BBM. Nah pemerintah
selalu mengatakan subsidi Rp 123 triliun kalau tidak
ditutup, kita jebol. Kemudian tabel IV.5, di situ ada angka Rp 32,276 triliun, itu namanya pengeluaran
Sumber Daya Alam, dan yang paling atas namanya,
transfer ke daerah, jadi ada uang yang di transfer ke
daerah Rp 32,276 triliun.
Sekarang kalau empat angka itu digabung, pemerintah
menerima pajak penghasilan migas Rp
60,9156 triliun, menerima PNBP migas sebesar Rp
159,4719 triliun, jumlahnya Rp 220 triliun sekian.
Tapi pemerintah mengeluarkan
2 macam uang, yang satu mengeluarkan
uang untuk subsidi yang
berkali-kali dikatakan pemerintah
Rp 123 triliun, yang lain DBH migas
karena diserahkan ke daerah sebesar
Rp 32,2762 triliun. Jadi setelah
pemerintah mengeluarkan jumlah
uang yang dikeluarkan sesuai
dengan kewajibannya, maka masih kelebihan uang
Rp 64,5 triliun kan? Tetapi yang Rp 32 triliun yang
diserahkan ke daerah, itu bukan pengeluaran.
Jadi pemerintah pusat menerima untuk diserahkan
ke daerah sebagai otonomi daerah, makanya
saya koreksi, jadi surplus pemerintah secara keseluruhan
itu Rp 96,7 triliun, lalu Rp 32 triliun diserahkan
kepada daerah.
Pak Anggito Abimanyu mengemukakan hal yang
sama kepada panitia anggaran, tetapi tidak sesederhana
dengan yang saya kemukakan. SBY bilang jebol,
Boediono bilang jebol. Kelebihan uang, kok APBN
dibilang jebol? Janganlah dibilang jebol.
**
Ini diasumsikan sebagai premium atau migas keseluruhan?
**
Ini semua sudah dicampur aduk jadi satu, ada avtur, ada pertamax, ada premium apa saja, baik produk semua sudah menjadi satu. Pokoknya uang
yang masuk gara-gara migas berapa, uang yang
keluar gara-gara migas berapa? Begini saja anggota
DPR nggak bisa baca. Panitia anggaran bermalammalam
rapat dibolak-balik, dia nggak ngerti-ngerti.
**Kemudian bagaimana dengan kebijakan pemerintah yang akan menaikkan BBM ?**
DPR sebagai mitra pemerintah, harus tanya, oke yang Anda rencanakan kelebihannya uang itu berapa?
Serta dalam benak Anda akan dipergunakan
untuk apa? Mereka juga tidak bisa menjawab.
**
Anda sudah menanyakan itu?
**
Iya, jadi kalau Anda menaikkan itu akan kelebihan
uang, bisa dihitung
yaitu 63 miliar liter
dikali Rp 1.500 berapa
itu? Rp 90-an triliun ya,
itu kalau ketambahan
uang sehingga menjadi
Rp 150 triliun itu untuk
apa?
Okelah kalau yang 96 sudah ada, tetapi
kelebihannya
itu Anda pakai untuk apa? Itu kan tidak
bisa dijawab. Pokoknya asal naik, karena orientasinya
dia asal naik, tidak untuk apa, dalam konteksnya
dia mau menaikkan sama dengan New York, tidak
boleh terlampau jauh.
Itu alasan utamanya, jadi otaknya otak liberal,
dikatakan neolib nggak salah lah, karena yang jadi
patokan dia pasar di New York, diktatornya, bukan
kepentingan bangsa Indonesia.

Banyak yang berasumsi miring dengan pendapat Anda. Bagaimana tanggapan Anda?
Sekarang kan begini, saya tadi berani mengatakan, masyarakat yang beranggapan miring yang menyebut
begitu itu masyarakat Indonesia. Tidak ada
satu negara maju satu pun acuan saya di Eropa yang
bicara seperti itu kalau saya bicara begini. Berarti
apa? Masyarakat itu tidak mengerti persoalan sama
sekali, ternyata mengenai hal sesimpel ini sangat
tidak mengerti, sangat menyedihkan.
Jadi kalau ada masyarakat yang bernada begitu,
buat apa menanggapi? Nggak ngerti jangan bicara,
saya sekarang nggak asal bicara, ini dari nota keuangan,
bukan omong kosong. Tapi penjelasan dari
migas sengaja menyesatkan karena tidak ada minus
kok bilang minus? Bahkan menggunakan kata subsidi,
menggunakan pasar internasional.

Bagaimana Anda bisa memahami ini?
Saya mengerti ini karena sekolah saya lama. Hehehe... Tapi apa menteri-menteri sekarang mengerti?
Saya jamin nggak ada yang mengerti. Agus Martowardojo,
Menteri Keuangan saya yakin dia nggak
ngerti masalah kayak gini. Banyaknya pembohongan
dimana-mana, yang ngomong benar dianggap bodoh.
Kalau masalah filosofi begini, apakah mentangmentang
minyak yang nggak ada nilainya mesti dijual
murah-murah kepada rakyatnya? Sekarang begini,
minyak yang ada di perut bumi itu harus dipompa
sampai keluar di permukaan. Itu biaya memompa
kan ada, katakanlah X rupiah, kemudian setelah minyak
mentah keluar kan harus dikilang sampai menjadi
bensin di pengilangan-pengilangan minyak, dan
itu berapa Y rupiah. Kemudian di transpor ke pompapompa
bensin Z rupiah. Jadi semua pengeluaran untuk bisa menghasilkan 1 liter bensin Rp 556 per liter.
Terus saya tanya, apakah harus dijual kepada
rakyat segitu? Tidak, kenyataanya kan tidak pernah
serendah itu, dan sekarang ini yang sudah telanjur
establish rakyat sudah mau menerima kan Rp 4.500
dan kalau lebih dari itu nggak terima begitu kan?
Tapi rakyat sudah mau menerima Rp 4.500, karena
dengan itu pemerintah sudah memberikan subsidi
segala-galanya. Jadi rakyat memberikan subsidi
kepada pemerintah segala-galanya. Nettonya itu Rp
96 triliun.
Nah sekarang ditanya
lagi saya, kami tidak boleh
Rp 0 tidak boleh Rp 556,
tapi juga tidak boleh apa?
Jawaban kami adalah harga
itu ditentukan di pasar New
York, nggak usah mikir kita,
itu jawaban mereka.
Kalau saya mengatakan
lain, barang seperti itu harusnya
diserahkan kepada
negara, bukan kepada pasar.
Jadi harga itu harus ditentukan oleh pemerintah,
bukan oleh pasar, bukan oleh New York. Hikmat
kebijaksanaan yang menentukan.
Semuanya ditentukan oleh tiga asas: kepatutan,
daya beli, dan nilai strategis. Daya beli, dari harga
Rp 4.500 menjadi naik, massa marah karena mereka
tidak sanggup beli. Nilai stategis, belum apa-apa
harga sembako sudah naik, jadi nilai stategis nggak
boleh mengacu pada New York, belum apa-apa sudah
naik kok. Sekarang ini negara kita dipimpin oleh
tukang-tukang hitung.

No comments:

Post a Comment